Laman

Senin, 13 September 2010

Perempuan Tak Bergincu

Waktu itu pukul sebelas lebih setengah saat bulan sedang shift malam. Lalu lalang orang mulai jarang. Lalu lalang kendaraan sekali-kali mengerang. Satu persatu keluar gerbang tunggu giliran. Di satu sudut masih girang dan cekikikan. Wajah-wajah yang lelah menyeringai dengar lawakan kawan sejawat. Kepulan asap menari-nari.
Kopi, rokok, dan aroma tubuh para laki-laki dan…..ah….seorang….nampak seperti pria berdada menonjol. Rambutnya cepak dan wajahnya bergurat kuat dalam kecantikan masa bergincu. Tapi ia tak mampu lagi bergincu. Mulutnya menyulut sebatang rokok yang disodorkan teman padanya. Tanpa sungkan dan etika perempuan bergincu. Sama seperti para pria yang mabuk dengan abu rokok dan candu tembakau. Wajahnya lelah, mulutnya terus saja menyapit rokok eceran, dan tangannya membaca lembaran rupiah. Sesekali ia menyambut godaan laki-laki di sampingnya. Ia tertawa dengan mulut lebar dan terlihat lebih menawan.
Angin malam menusuk dari belakang. Ia mengambil jaket tebal dari dalam kantor. Memakainya lalu kembali bernyanyi dengan angin dan deru kendaraan besar. Warung Lek Min mulai kehabisan bahan bakar. Redup dan makin asoy. Lampu boleh padam tapi musik dangdut koplo terus menggoyang para lelaki dan perempuan tanpa gincu itu. Mereka larut dalam pembicaraan. Uang sekolah anak, susu kaleng, sampai ranjang dengan dua istri. Sangat membingungkan. Aku tak mengerti.
Waktu malam itu. Orang-orang bicara riuh tanpa batas. Semua berisi kekalutan dalam ruang dangdut Lek Min. Lek Min tertawa, asal semua ingat bayar utang. “Bayar dulu tu Jo pisang goreng 2 ma kopi satu termos, lha koq mau nambah piaraan lagi!!” ck...ck...ck...grr......perempuan tak bergincu itu menyipit menahan tawa. Seperti tahu saja kegemaran teman laki-laki sejawatnya. Sama sekali tak terlecehkan seperti para perempuan bergincu yang hanya jadi nomor dua bagi laki-laki semacam kawan sejawat perempuan tak bergincu.
Perempuan itu memalingkan wajah padaku, senyumnnya mendadak keibuan, ia menyapaku dengan lambaian tangan mengarah keluar. “Muliho!!” mulutnya komat-kamit. Ia tahu aku tahu. Tahu apa? Tahu kehidupannya di kala aku tak tahu. Ia pikir aku tahu maka aku malu. Tapi aku malu bila orang bicara yang mereka tak tahu. Semua tentang malam ini. Kendaraan-kendaraan besar melaju, perempuan tak bergincu duduk dengan satu kaki di atas kursi kayu dan sendiri. Empat kali ia menguap. Fisiknya mengatakan kebenaran. Bahwa telah habis masanya untuk hari ini. Tapi senyumku padanya membuat debaran jantung tetap berdegup, wajahku membuat darah paruh bayanya mendidih dan bergolak 10 Nopember. Ia masih duduk disana sementara para laki-laki meninggalkannya dan hanya Lek Min. Tubuhnya menangkup di kursi panjang. Matanya menangkapku di balik roda-roda besar yang berputar. Aku mulai rabun mengaguminya. Ada embun di dalam mataku dan mata perempuan itu ketika bertemu.
Pukul 12 dini hari. Perempuan itu benar-benar telah hilang di balik roda-roda besar yang berputar. Senyum dan semangatnya tak lagi  bersaing dengan deru kendaraan. Aku melihatnya dalam kantor yang berjalan. Dari atas sana ia melambai. Cium jauh. Dari jauh....dari balik kaca. Ia berbalik. Menatap jauh ke depan. Meninggalkan kenangan padaku. Kenangan semalam dan setiap malam dengan perempuan tanpa gincu. Kenangan tentang seorang ibu......Afil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar